Fazlurrahman selain tokoh islam dunia,
Fazlurrahman juga seorang pembaru pemikiran Islam par excellent yang
lahir dari tradisi keagamaan (mazhab Hanafi) yang cukup kuat. Fazlurrahman
Lahir pada tanggal 21 September 1919, Fazlurrahman kecil terbiasa
dengan pendidikan dan kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh
ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din, dan juga dari Madrasah Deoband.
Dalam usia sepuluh tahun, Fazlurrahman sudah hafal Al-Qur_an di luar
kepala. Ketika berusia empat belas tahun, bocah yang suatu saat menjadi
tokoh islam dunia ini sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab,
teologi, hadis, dan tafsir. Berikutnya, Fazlurrahman berhasil menguasai
bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan Jerman, selain juga
mempunyai pengetahuan yang workable tentang bahasa-bahasa Eropa Kuno,
seperti Latin dan Yunani.
Situasi pemikiran dan
gerakan Islam di Anak Benua India (Indo-Pakistan) tak bisa dipungkiri
merupakan latar sejarah yang menyangga konstruk kesadaran dan pemikiran
Rahman. Di belahan Indo-Pakistan ini, dinamika pembaruan pemikiran Islam
begitu marak dan berakar jauh sejak masa Syah Waliyyullah Ibn Abd
al-Rahim al-Dihlawi (w. 1763). Rahman mengkategorikan corak pembaruan
awal mula ini sebagai bentuk revivalisme[1] pra-modernis. Corak
pemikirannya mengedepankan pendekatan tahtbiiq sebagai cara sistematis
untuk menghampiri Al-Qur_an dan Al-Hadis. Tathbiiq menyediakan metoda
untuk melakukan ijtihad dan menarik istinbat hukum, sekaligus memberi
arahan yang jelas tentang bagaimana menerapkannya. Selain itu, Syah
Waliyyullah juga merupakan tokoh pertama yang berupaya untuk
menggabungkan sejarah nabi secara sistematis dan menjelaskan bahwa
aturan sosial yang diberikan para nabi itu dapat secara rasional
diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya
masing-masing. Untuk itu ia berusaha untuk mengintegrasikan beragam ilmu
pengetahuan Islam, dari hadis, fiqih, teologi, filsafat, dan sufisme,
yang pada hemat saya, semua itu dilakukannya untuk mendekati Islam
sebagai sebuah agama yang dinamis dan dapat diterapkan sesuai dengan
konteks zamannya masing-masing.
Pada kurun berikutnya, demam
kebangkitan Islam (an-nahdlah) yang digelorakan oleh Muhammad Abduh dan
Jamaluddin Al-Afghani di Mesir, sampai juga ke Anak Benua India. Gelora
kebangkitan yang dipicu oleh semangat ingin melepaskan diri dari
cengkraman imperialisme itu memunculkan paling tidak tiga bentuk
penyikapan; ada yang konfrontatif sehingga menolak secara apriori apapun
yang berasal dari Barat, ada yang apologetik lalu mengklaim nilai-nilai
positif yang berasal dari Barat itu sesungguhnya mempunyai akar dan
jejak dalam khazanah Islam, dan ada pula yang akomodatif kemudian
melihat Barat sebagai realitas yang tak terpisahkan dari kemajuan itu
sendiri sehingga harus ditiru dan diakomodasi.
Sayyid Ahmad Khan (w. 1898)
sebagai tokoh yang amat disegani pada waktu itu, secara apologetis,
ingin membuktikan bahwa kebenaran agama selalu berkorespondesi dengan
fitrah manusia dan hukum alam. Termasuk di dalamnya, Islam secara
keseluruhan berkesesuaian dengan kemajuan, terutama dengan kemajuan
kebudayaan Inggris abad 19 dengan pengetahuannya yang baru, moralitasnya
yang humanitarian dan liberal, serta rasionalismenya yang saintifik.
Inilah sebuah penyikapan yang khas modernisme klasik dari gerakan Islam.
Gerakan ini menebarkan pemikiran-pemikirannya melalui lembaga
pendidikan Aligarh yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Khan pada tahun
1875. Sealur dengan ide modernisme Sayyid Ahmad ini, Sayyid Amir Ali
(w.1928) merumuskan apologetika dan ideologi Islam baru.
Sementara itu Sir Muhammad Iqbal
(w. 1938) berusaha menghidupkan kembali seluruh dunia muslim melalui
pandangan Islam yang dinamis. Ia mengkritik pemahaman Islam yang pada
waktu itu statis, sempit, kaku, dan dogmatik. Seraya Iqbal menyerukan
pandangan Islam yang memandang kehidupan sebagai gerak dinamis; tindakan
adalah baik, dan kehidupan bukan untuk direnungi saja, tetapi untuk
dijalani dengan bersemangat. Ia juga menyatakan bahwa agama dan proses
ilmu pengetahuan, meskipun metodenya berbeda, namun tujuan akhirnya
adalah sama.
Meski demikian, gerakan
modernisme klasik yang dipelopori Sayyid Ahmad Khan ini mendapat
tantangan internal yang tidak ringan. Ada yang mengambil langkah-langkah
moderat dan ada pula yang mengambil jalur konservatif-fundamentalis.
Muhammad Syibli Nu`mani (w. 1914) berusaha menjembatani pemikiran
kalangan Aligarh yang cenderung modernis dengan kalangan perguruan
Deoband yang tradisional dan konservatif. Melalui lembaga pendidikannya,
Nadwatul Ulama, ia berusaha menggabungkan ilmu pengetahuan modern
dengan khasanah Islam klasik bagi anak didiknya. Sayangnya, sepeninggal
Syibli lembaganya tidak menunjukkan kewibawaan pemikiran seperti yang
diharapkan. Bahkan, terperosok menjadi sosok konservatisme yang lebih
ekstrem.
Dari jalur lain, aliran Deoband
sebagai representasi pemikiran sebuah universitas berhaluan konservatif
yang setara dengan Universitas Al-Azhar Cairo, mempelopori kritik tajam
terhadap kalangan modernis yang mereka cap sebagai kalangan westernis.
Mereka menganggap kalangan modernis terlalu terpukau kepada Barat
sehingga semuanya diukur dan diorientasikan dengan nilai-nilai Barat.
Kalangan ini ingin menegakkan supremasi dan otentisitas Islam vis a vis
Barat yang imperalis itu.
Dari atmosfer pemikiran Deoband
inilah lahir sebuah gerakan baru yang bercorak revivalis, atau lebih
tepatnya neo-revivalis, yang dipelopori oleh Abul A`la Al-Mawdudi (w.
1979) dengan Jemaat Islami-nya. Dia mengkritik keras pandangan kalangan
modernis sehubungan dengan spektrum Islam dan kemoderenan (Barat).
Al-Mawdudi mengitrodusir hubungan antara Islam dan Jahiliyah untuk
melihat hubungan Islam dan Barat. Ia menyebut kebudayaan Barat
kontemporer sebagai Jahiliyah moderen. Menurutnya, untuk kebangkitan
Islam, umat tidak perlu mengambil model dan sistem Barat yang sekuler
itu, tetapi cukup dengan menggunakan Syariah Islam yang merupakan
petunjuk lengkap dan final. Karena kelengkapan ajarannya itu, seorang
muslim tidak akan pernah hidup dalam keadaan hina dan tidak berdaya.
Islam menurut Al-Mawdudi, dalam bahasa Montgomery Watt, telah mencapai
finalitas, superioritas, dan self sufficiency dalam segala dimensinya;
ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Pergumulan pemikiran yang
menegang antara kalangan modernis dengan kalangan
tradisionalis-konservatif-revivalis ini menjulur sampai saat mereka
bersama-sama harus merumuskan konsep kenegaraannya. Kalangan modernis
melihat Islam sebagai dasar negara adalah suatu konsep dan nilai yang
dinamis sehingga bisa menjadi landasan bagi konsep-konsep negara yang
moderen. Sementara kalangan tradisionalis berpendapat, politik dalam
Islam adalah wujud kedaulatan Tuhan. Pertentangan dua kutub pemikiran
ini hampir tidak bisa ditengahi, sampai Liyaqat Ali Khan (P.M. Pakistan
ketika itu) mengajukan objective resolution pada tanggal 7 Maret 1949.
Inti resolusi itu adalah kedaulatan hanya milik Allah. Hanya saja, Dia
mendelegasikan otoritas-Nya kepada Negara Pakistan melalui rakyatnya
agar dilaksanakan dalam batas-batas yang telah ditentukan-Nya.
Objective resolution yang kemudian ditubuhkan menjadi konstitusi negara
pada tahun 1956 ini memang berhasil meredam ketegangan, tapi tetap saja
menyimpan ketidakpuasan dari kedua belah pihak yang berikutnya menjadi
benih-benih perselisihan.
Rekonstruksi Pemikiran Islam: Neo-Modernisme
Suasana
pergolakan gerakan dan pemikiran Islam semacam itulah yang menjadi latar
dan sekaligus rahim dimana Fazlurrahman berkembang dan membangun
kesadaran berfikirnya. Rahman menguasai dengan baik khazanah keilmuan
Islam klasik (baca: ortodoksi) dan sekaligus melek terhadap ilmu-ilmu
moderen. Dia tidak ingin terbelit oleh salah satu dari dua kutub
pemikiran yang menegang terus itu. Ia ingin mengatasinya, mengurainya,
dan keluar dengan sintesa pemikiran baru yang menyegarkan dan
mencerahkan; seraya memposisikan dirinya sebagai penganjur
neo-modernisme.
Menurut
Fazlurrahman, sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir,
paling tidak, terbagi dalam empat tipologi. Dia menempatkan dirinya
masuk dalam corak gerakan yang keempat. Keempat tipologi itu adalah
sebagai berikut:
- Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat.
- Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir.
- Gerakan Neo-Revivalisme, yang mempunyai corak _moderen_ namun agak reaksioner, dimana Abul A`la Al-Mawdudi dengan Jemaat Islami-nya menjadi model yang tipikal bagi gerakan ini.
- Gerakan Neo-Modernisme, Rahman
mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Sebab,
menurutnya, neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari
rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di
sisi yang lain. Dan ini merupakan pra-syarat utama bagi Renaissance
Islam.
Model
pemikiran sintesis-progresif semacam apakah yang dibawa gerakan
neo-modernisme ini? Rahman, dalam catatan penulis, satu langkah lebih
maju dari kalangan modernis maupun tradisionalis Islam dalam dua hal
pokok. Pertama, berkaitan dengan soal metodologi. Kedua, berkaitan
dengan buah pemikiran. Secara metodologis, Rahman memberi perspektif
historis dalam menghampiri Islam dan di membubuhkan analisis
hermeneutika-obyektif dalam menggali Al-Qur_an. Hasilnya adalah buah
pemikiran yang mempunyai pijakan kukuh di atas pondasi tradisi
(ortodoksi) Islam, sekaligus mampu keluar dari jebakan stagnasinya untuk
menggamit ruh tradisi yang kontekstual dan kompatibel bagi zamannya,
yakni ruh Islam yang substantif dan liberatif.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !