Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Di dalam Al-Qur-an terkadang Allah Ta’ala
menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, yaitu ilmu yang
bermanfaat. Dan terkadang Dia menyebutkan ilmu pada kedudukan yang
tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun yang pertama, seperti firman Allah Ta’ala,
“… Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’…” [Az-Zumar: 9]
Firman Allah Ta’ala,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada
ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar)
melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Firman Allah Ta’ala.
“… Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” [Thaahaa: 114]
Firman Allah Ta’ala.
“… Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Faathir: 28]
Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam
dan pelajaran yang didapatkannya dari Allah tentang nama-nama segala
sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun
berkata,
“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” [Al-Baqarah: 32]
Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya,
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?’” [Al-Kahfi: 66]
Ini semua adalah ilmu yang bermanfaat.
Dan terkadang Allah Ta’ala mengabarkan
keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka
tidak bermanfaat. Ini adalah ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya, namun
pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu. Allah Ta’ala
berfirman,
“Perumpamaan orang-orang yang diberi
tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak
mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang
tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah
itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
[Al-Jumu’ah: 5]
Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir seperti firman-Nya,
“… Mereka mempelajari sesuatu yang
mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu
barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat
keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang
menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [Al-Baqarah:
102]
Dan firman Allah Ta’ala,
“Mereka hanya mengetahui yang lahir
(tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat
mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]
Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu
menjadi ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, juga
menganjurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan
memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th.
728 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas
dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal
dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan
duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu
perdagangan.” [2]
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal.
Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala
apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang
mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya
pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta
ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala
berikan.
Kedua, mengetahui segala apa yang
diridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang
dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan
bathin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk
bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala
dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu
menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat.
Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh,
hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan
Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang
halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu
menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]
Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H)
rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut
kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh
adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya
banyak.” [4]
Perkataan beliau rahimahullaah
menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun
ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak
membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H)
rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir
Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan
dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka
yang mengikuti jejak mereka…” [5]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H)
rahimahullaah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain
mereka bukanlah ilmu.” [6]
Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling
utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal
dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut
Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…” [7]
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan,
Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.
Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang
agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan
manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu
agama, dengan kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan
bangkrut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah
mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara
tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan
rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang
menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga
mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu
juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak
menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang
yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah
mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh
perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya
aku diutus.” [9]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
ketika datang membawa ajaran agama Islam, beliau mengumpamakannya
dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti tanah yang kering,
gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati
sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang
mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di
antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan
mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga
dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang
lain.
Di antara mereka ada juga orang yang
menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak
mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka,
dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat
memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah
memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia
mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang
mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak
menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah
yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air
sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama
dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan
dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.
Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri
dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya.
Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk
agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok
ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak
menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga
dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat
kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang
sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya
pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur
kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras,
dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaatkannya.
Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”
Ath-Thibi berkata, “Manusia terbagi menjadi dua”.
Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.
Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori
pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada
walaupun tingkatannya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh,
di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada
juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal
yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk
kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan seandainya dia
meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak
boleh mengambil ilmu darinya.
Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” [10]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan
Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat –
Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M] ___________
Foote Notes [1]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf
(hal. 11-13), karya Imam Ibnu Rajab rahimahullaah, ta’liq dan takhrij
Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, cet. I, Daar ‘Ammar, th.
1406 H. [2]. Majmuu’ al-Fataawaa (VI/388, XIII/136) dan Madaarijus
Saalikiin (II/488) [3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 47). [4].
Al-Bidaayah wan Nihaayah (V/237). [5]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf
(hal. 41). [6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/769, no. 1421) dan
Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 42). [7]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal
Khalaf (hal. 41). [8]. Diiwaan Imam asy-Syafi’i (hal. 388, no. 206),
dikumpulkan dan disyarah oleh Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr,
th. 1415 H. [9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 79)
dan Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu
‘anhu. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari. [10]. Lihat Fat-hul Baari
(I/177).
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !