1 PENGERTIAN KAIDAH-KAIDAH ILMU TAFSIR
Kaidah-kaidah tafsir dalam
Bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al-tafsir, terdiri dari dua
kata yaitu qawa’id dan al-tafsir. Kata ﻗﻭﺍﻋﺩ merupakan bentuk jamak dari
ﻗﺎﻋﺩﺓ yang berarti undang-undang, peraturan, dan asas. Secara istidah
didefinisikan dengan undanng-undang, sumber, dasar yang digunakan secara
umum yang mencakup semua yang partikular.[1]
Adapun kata ﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ secara
bahasa berasal dari kataﻓﺴﺮ -ﻴﻔﺴﺮ -ﺗﻔﺴﻴﺮ yang berarti mengungkapkan atau
menampakkan.[2] Menurut al-Zarkasyi tafsir merupakan ilmu yang
dengannya didapatkan pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw mengenai penjelasan maknanya, serta pengambilan
hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan menurut al-Zarqani arti
tafsir adalah ilmu yang di dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk al-Quran
yang dimaksudkan oleh Allah swt dan diperoleh berdasarkan atas kemampuan
manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat dikatakan bahwa ﻗﻭﺍﻋﺩﺍﻠﺗﻔﺴﻴﺮ adalah pedoman-pedoman yang disusun
oleh ulama’ dengan kajian yang mendalam guna mendapatkan hasil yang
maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran, hukum-hukum, dan
petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.[3]
2 KAIDAH-KAIDAH ILMU TAFSIR
Kaidah-kaidah ilmu tafsir
Al-Quran sangat tinggi nilainya, dan manfaatnya juga sangat besar. Serta
dapat membantu kita untuk memahami kalamullah dan dapat dijadikan
penuntun untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Kaidah-kaidah
memberikan seseorang metode-metode menafsirkan Al-Quran dan merintis
jalan kepada manhajj (sistem) pemahaman tentang Allah.[4]
Secara ringkas kaidah-kaidah
ilmu tafsir al-Quran ada lima, yaitu kaidah quraniyah, kaidah sunnah,
kaidah bahasa, kaidah ushul al-fiqh, dan kaidah ilmu pengetahuan.
Berikut akan dijelaskan mengenai kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Quran
satu-persatu.
1 Kaidah Quraniyah
Kaidah
quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari
al-Quran. Beberapa kaidah yang lazim digunakan dalam menjelaskan kaidah
quraniyah antara lain sebagai berikut:
a. ﺍﻠﻌﺑﺮﺓﺑﻌﻤﻭﻢﺍﻠﻠﻔﻅﻻﺑﺧﺻﻭﺺﺍﻠﺴﺑﺐ[5]
Maksudnya yaitu jika
satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan
lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas tersebut turun untuk
menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegang oleh mayoritas
ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.[6] Misalnya pada QS
Al-Maidah: 38
ﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻕﻭﺍﻠﺴﺎﺭﻗﺔﻓﺎﻗﻄﻌﻭﺍﺍﻳﺩﻳﻬﻣﺎﺟﺯﺍﺀﺑﻣﺎﻛﺴﺑﺎﻧﻜﺎﻻﻣﻦﺍﷲﻭﺍﷲﻋﺯﻴﺯﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam menanggapi ayat tersebut jumhur ulama terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Menerapkan langsung hukum
tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul. Maksudnya
yaitu Allah swt Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, maka Ia memerintahkan
memotong tangan pencuri dan menetapkan sanksi kepada orang-orang yang
melampaui batas sebagai hukum, takdir, dan ganjaran bagi mereka.
2.
Mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang
melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat, maupun waktunya.
Maksudnya yaitu Allah Maha Bijaksana maka apabila orang tersebut
bertaubat dan kembali ke jalan Allah, maka Allah akan mengampuni dan
mengasihinya. Maka demikian pula hendaknya kita sebagai manusia juga
bisa memaafkan orang tersebut.
b. Kandungan suatu ayat yang
memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukkan bahwa hukum yang
terkandung berkaitan dengan nama yang mulia.
Misalnya QS Al-Baqarah: 32 ﻗﺎﻠﻭﺍﺴﺑﺤﻧﻚﻻﻋﻠʌ50;ﻠﻧﺎﺍﻻﻤﺎﻋﻠﻤﺗﻧﺎﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ
Artinya:
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut merupakan lanjutan
dari ayat sebelumnya mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat
berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap
upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau
akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering
membuat kerusakan dan saling membunuh?” untuk membuktikan kamahatahuan
Tuhan, Dia mengajarkan Adam nama-nama benda yang tidak diketahui
malaikat. Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemahatahuan
Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
Kekeliruan pandangan malaikat ini digambarkan dalam ungkapan:
ﺍﻧﻚﺍﻧﺖﺍﻠﻌﻠﻴﻢﺍﻠﺤﻜﻴﻢ.
c. Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat.
Ayat
yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah. Sedangkan pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat
ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui
seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya
ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[7]
Contoh ayat muhkamat adalah QS Al- An’am: 154,
ﺜﻢﺍﺘﻴﻨﺎﻣﻮﺳﻰﺍﻠﻜﺘﺐﺘﻣﻣﺎﻣﺎﻋﺎﻰﺍﻠﺬﻱﺍﺣﺳﻥﻮﺘﻔﺼﻴﻼﻠﻜﻞﺸﻲﺀﻮﻫﺪﻯﻮﺭﺭﺣﻤﺔﻠﻌﻠﻬﻢﺑﻠﻘﺎﺀﺭﺑﻬﻢ ﻳﺆﻤﻨﻮﻥ
Artinya:
Kemudian Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) untuk
menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, untuk
menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat agar mereka
beriman akan adanya pertemuan dengan Tuhannya.
Sedangkan contoh ayat
mutasyabihat adalah huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) yang
terdapat pada awal surat, seperti lafad alif-lam-mim, alif-lam-ra,
ha-mim, dan sebagainya.[8]
2 Kaidah Sunnah
Berdasarkan
QS An-Nahl ayat 44 dan 64, Nabi Muhammad sebagai Rasul yang datang
untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka
rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau
tidak menafsirkan menurut akal pikiran, tetapi menurut wahyu Ilahi.[9]
Kaidah yang dipergunakan diantaranya ialah:
a. Sunnah harus dipakai sesuai
dengan petunjuk Al Quran. Secara logika penjelasan itu tidak boleh
bertentangan dengan al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan
demikian penjelasan Nabi saw selalu dalam kerangka al-Quran. Hal itu
terbukti dengan tidak ditemukannya hadis shahih yang bertentangan dengan
al-Quran.
b. Menghimpun hadis yang pokok
bahasannya sama. Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang
shahih, yaitu dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada
yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad, dan
menkhususkan yang umum. Dengan demikian, akan didapatkan suatu pemahaman
yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan bahwa hadis berfungsi
manafsirkan al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna
globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap, dan sebagainya.
3 Kaidah Bahasa
Al Quranul Karim diturunkan kepada umat manusia dengan berbahasa Arab. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS Yusuf: 2
ﺍﻨﺎﺍﻨﺰﻠﻨﻪﻗﺮﺍﻨﺎﻋﺮﺑﻴﺎﻠﻌﻠﻜﻢﺘﻌﻘﻠﻮﻥ
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab,
agar kamu memahaminya. Oleh karena itu, berarti tidak ada jalan lain
bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali dengan menguasai dan memahami
bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus dipahami antara lain:
a. Dhomir
Secara
bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti kurus
kering, sebab dilihat dari bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil.
Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-adhmar yang berarti
tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak dalam bentuk nyatanya.[10]
Sedangkan secara istilah, dhamir adalah lafazh yang digunakan sebagai
pengganti, baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim),
orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).[11]
b. Al-Ta’rif dan Al-Tankir (Isim Ma’rifah dan Isim Nakirah)
Secara
terminologis para ahli bahasa (ahl an-nahw) mendefinisikan isim
ma’rifah sebagai isim yang menunjukkan sesuatu yang sudah jelas.[12]
Dalam bahasa Arab ism al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara
sintaksis maupun sistematis. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi
ism al-ma’rifah adalah untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan
adalah ma’ruf (diketahi) atau untuk ta,rif.[13] Sedangkan yang dimaksud
dengan ism al-nakirah merupakan kebalikan dari ism al-ma’rifah, yaitu
isim yang menujukkan sesuatu yang belum jelas pengertiannya. Definisi
lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas
baginya kemasukkan alif-lam.[14]
c. As-Sual wa Al-Jawab
Kaidah yang dipergunakan antara lain:
1. Jawaban menyimpang dari soal
Misalnya: QS al-Baqarah: 189 ﻳﺴﺄﻠﻮﻨﻚﻋﻋﻥﺍﻷﻫﻠﺔﻗﻞﻫﻲﻣﻮﺍﻗﻴﺖﻠﻠﻨﺎﺱﻮﻮﺍﻠﺤﺞ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Asbab al-Nuzul ayat ini adalah
bahwa ada sekelompok orang yang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang
bulan sabit (al-ahillah), kenapa semula ia tampak kecil seperti benang,
kemudian lama-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama,
lalu ia menyusut kembali seperti keadaan seperti semula?[15]
Secara
logika, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses
perubahan yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan
yang demikian itu, jawaban yang diberikan al-quran kepada mereka adalah
berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan
mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah hikmah dari
bulan sabit, bukan seperti yang mereka pertanyakan.[16]
2. Jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan, karena memang hal itu dianggap perlu.[17]
Misalnya: QS Thaha: 18
ﻗﻞﻫﻲﻋﺼﺎﻱﺃﺘﻮﻜﺄﻋﻠﻴﻬﺎﻮﺃﻫﺶﺒﻬﺎﻋﻠﻰﻏﻨﻤﻲﻮﻠﻲﻓﻴﻬﺎﻤﺎﺭﺏﺃﺧﺭﻯ
Artinya:
Berkata Musa: Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lain keperluan
yang lain padanya.
Ayat tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu QS Thaha: 17 ﻮﻤﺎﺘﻠﻚﺑﻴﻤﻨﻚﻴﺎﻤﻮﺳﻰ
Artinya: Apakah ini yang di tanganmu, hai Musa?
Dalam ayat ini, sebenarnya Allah
hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan
kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada
di tangan kanannya adalah tongkat. Dengan jawaban yang demikian,
sebenarnya sudah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dipahami,
namun Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan
fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, memukul daun, dan
beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dilakukan Nabi Musa karena
ia merasa senang dengan pertanyaan yang dilontarkan Allah kepadanya.[18]
3. Jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya.
Misalnya: QS Yunus: 15 ﻗﻞﻤﺎﻴﻜﻮﻥﻠﻰﺃﻥﺃﺑﺪﻠﻪﻤﻥﺗﻠﻘﺎﺀﻧﻔﺴﻰ
Artinya: Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya (pada ayat yang sama), yaitu:
ﻗﺎﻞﺍﻠﺬﻳﻥﻻﻳﺮﺟﻮﻥﻠﻘﺎﺀﻧﺎﺍﺋﺖﺑﻘﺮﺍﻥﻏﻳﺮﻫﺬﺍﺍﻮﺑﺪﻟﻪ
Artinya:
Orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata:
Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.
Dalam ayat tersebut setidaknya
ada dua pertanyaan pokok, yaitu perintah untuk mendatangkan al-Quran
yang lain, dan jikalau tidak dapat maka disuruh untuk menggantinya.
Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Quran tidak mencakup
kedua hal dimaksud, tetapi hanya terfokus pada satu hal, yaitu yang
terkait dengan perintah untuk menggantinya. Hal ini mengingat bahwa
mengganti itu lebih mudah daripada menciptakan kembali. Jika mengganti
saja sudah tidak mampu, apalagi untuk menciptakan pasti akan lebih
sulit.[19]
d. Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
Jumlah
ismiyah atau kalimat nominal menunjukkan arti subut (tetap) dan
istimrar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal
menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal).
Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa
ditempai oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan
kalimat verbal (jumlah fi’liyah), seperti dalam surah Ali ‘imran:134
ﺍﻟﺬﻳﻥﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻓﻰﺍﻟﺴﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻀﺮﺍﺀﻮﺍﻟﻜﺎﻇﻤﻴﻥﺍﻟﻐﻴﻅﻮﺍﻟﻌﺎﻓﻴﻥﻋﻥﻥﺍﻟﻨﺎﺱﻮﷲﻴﺤﺐﺍﻟﻤﺤﺴﻨﻴﻥ
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang berinfaq, baik di waktu lapang maupun sempit
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. Dan Allah mencintai orang-orang berbuat kebaikan.
Contoh kalimat nominal (jumlah ismiyah) yaitu tentang keimanan, seperti dalam QS al-Hujurat:15
ﺍﻨﻤﺎﺍﻟﻤﺆﻤﻨﻮﻥﺍﻟﺬﻴﻥﺍﻤﻨﻮﺑﷲﻮﺭﺴﻮﻟﻪﺛﻢﻟﻢﻴﺭﺗﺎﺑﻮﺍﻮﺟﺎﻫﺪﻮﺍﺑﺎﻣﻮﺍﻟﻬﻢﻮﺍﻧﻔﺴﻬﻢﻓﻲﺴﺑﻴﻞﷲﺍﻮﻟﺌﻚﻫﻢﺍﻟﺼﺪﻗﻮﻥ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.
Hal ini dikarenakan infaq
merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan
terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan, ia mempunyai hakikat
yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendakinya masih ada.[20]
e. Mashdar
Cara
menunjukkan sesuatu yang diwajibkan adalah dengan menggunakan mashdar
dengan bacaan marfu’ ( _ ) dan cara menunjukkan sesuatu yang disunatkan
adalah dengan menggunakan mashdar dengan bacaan manshub ( _ ).[21]
Contoh:
1. QS Al-Baqarah: 229 … ﺍﻟﻃﻼﻕﻣﺭﺗﻦﻓﺈﻣﺴﺎﻙﺒﻣﻌﺭﻭﻑﺍﻭﺗﺴﺭﻳﺢﺑﺈﺣﺴﺎﻥ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik …
Kata ﺇﻣﺴﺎﻙ (menahan) dan ﺗﺴﺭﻳﺢ (melepaskan) dengan bacaan marfu’ menunjukkan wajibnya ruju’ dan wajibnya cerai.
2. QS Muhammad: 4 … ﻓﺇﺫﺍﻟﻘﻴﺗﻢﺍﻟﺬﻴﻦﻛﻔﺭﻭﺍﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ
Artinya: Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. …..
Kata ﻓﻀﺭﺏﺍﻟﺭﻗﺎﺏ (pukullah batang leher) dibaca manshub, menunjukkan sunah memukul kuduk orang kafir dalam keadaan perang.
2.2.4 Kaidah Ushul al-Fiqh
Di antara kaidah-kaidah ini adalah:
a. Kaidah yang berkaitan dengan al-amr wa al-nahy
Al-amr adalah tuntutan untuk
melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi derajatnya
kapada pihak yang lebih rendah. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan
dari al-amr. Apabila Allah swt memerintahkan sesuatu berarti melarang
untuk melakukan sebaliknya. Apabila Dia memuji terhadap diri-Nya atau
kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikit pun berarti menetapkan
kesempurnaan. Contoh: Allah memerintahkan berbuat adil berarti Dia
melarang berbuat zalim. Larangan berdusta berarti perintah berbuat
jujur. Penafian sifat kadzib Rasul saw, berarti penetapan sifat
jujurnya.[22]
b. Kaidah-kaidah ushuli lainnya antara lain:
1.
Am dan Khash. Am adalah lafazh yang mencakup seluruh satuan-satuan yang
pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[23] Sedangkan
lafazh khash merupakan kebalikan dari lafazh am, yaitu yang tidak
menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
2. Mujmal dan Mubayyan. Mujmal
adalah lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, yang kesemuanya
masih sulit untuk ditentukan secara pasti mana yang lebih tepat
untuknya, karena makna yang dikandung oleh lafazh tersebut sama-sama
kuatnya.[24] Sedangkan mubayyan merupakan penjelas terhadap lafazh yang
masih mujmal pengertiannya.
3. Manthuq dan Mafhum. Manthuq
adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu
sendiri.[25] Dengan kata lain, pengucapan lafazh itu sendirilah yang
memberi jalan bagi kita untuk dapat mengerti maksud kandungannya
sehingga tidak ada kemungkinan makna lain kecuali apa yang dapat
dimengerti dari teks itu sendiri.[26] Sedangkan mafhum adalah sesuatu
(makna) dari suatu lafazh yang ditunjukkan secara tersirat.
4.
Muthlaq dan Muqayyad. Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan
kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa adanya pembatasan. Sedangkan
yang dimaksud lafazh muqayyad adalah kebalikan dari lafazh muthlaq.
Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, mendefinisikannya
sebagai suatu lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat dengan adanya
batasan.
5. Hakikat dan Majas.
Hakikat merupakan suatu lafazh yang tetap pada makna aslinya, dan tidak
ada taqdim (makna yang didahulukan) dan ta’khir (makna yang diakhirkan)
di dalamnya.[27] Sedangkan majaz adalah lafazh yang digunakan untuk
suatu arti, yang semua lafazh itu bukan diciptakan untuknya.[28]
2.2.5 Kaidah Ilmu Pengetahuan
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !