BAB
I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang
memerintahkan amal kebaikan, mengajarkan keadilan, dan Islam adalah agama yang
menebarkan kedamain. Sebaliknya, Islam melarang kazaliman, kesewenang-wenangan,
dan Islam agama yang melarang adanya segala macam permusuhan. Oleh sebab itu
sebagi umat yang meyakini kebenaran Islam, berupaya melaksanakan kewajiban yang diperintahkan dan
menjahui hal-hal yang dilarang oleh Islam adalah suatu keniscayaan.
Tabiat dan sikap prilaku (akhlak)
yang mendorong pada perbuatan yang diperintahkan atau yang dilarang oleh Islam
adalah kenyataan yang senantiasa ada. Oleh sebab itu sebagai umat yang telah
bersyahdah bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam dan Muhammad SAW adalah
utusanNya, mengetahui dan memahami tentang akhlak (terpuji dan tercela) adalah
suatu kewajiban, sebagai perwujudan awal melaksanakan perintah dan meninggalkan
laranganNya sekaligus sebagai bukti kepatuhan terhadap Rasul Allah yang memang diutus
untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan di muka bumi ini.
Dengan latar belakang masalah akhlak
terpuji dan akhlak tercela penulisan makalah ini bertujuan :
a.
Dapat memahami pengertian akhlak (terpuji dan tercela)
b.
Mampu menjelaskan hadits tentang akhlak (terpuji dan
tercela)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Secara
etimologi kata akhlak dalam kamus
besar bahasa Indonesia diarikan sebagai; tabiat, kelakuan.01) Kata akhlak dalam Bahasa Arab dri akar kata khulukun bisa diarikan tabiat, perangai, kebiasaan.02)
Secara
terminology, terdapat bebrapa pengertian akhlak :
1.
Menurut Imam Ghozali, akhlak
adalah “suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
lebih dahulu”03)
2.
Menurut Ahmad Amin, akhlak adalah “kebiasaan
berkehendak. Artinya bahwa kehendak bila dibiasakan maka kebiasaan itu menjadi
akhlak”.04)
Dari pengertian-pengertian Akhlak tersebut
di atas, dapatlah disimpulkan bahwa akhlak
adalah sikap atau prilaku yang meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian
sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang mudah dan ringan untuk
mengerjakannya tanpa keterpaksaan dan pemikiran. Dari situ akan melahirkan satu
prilaku atau perbuatan terpuji yang disebut akhlak
terpuji atau sebaliknya yaitu perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela.
B. Tinjauan
Hadits tentang akhlak terpuji dan akhlak tercela
Hadits : 1
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ
الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْبِرِّ
وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari An Nawwas ra. Ia berkata: “saya
menanyakan tentang kebajikan dan dosa (kejahatan) kepada Rasulullah saw.
Kemudian Beliau menjawab: “kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan
dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang merisaukan hatimu dan kamu tidak
senang bila hal itu diketahui orang lain.” (H.R. Muslim)
Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan
bahwa hadits ini termasuk hadits yang singkat dan padat, bahkan merupakan
hadits yang paling padat, karena kebaikan itu mencakup semua perbuatan yang
baik dan sifat yang ma′ruf. Sedangkan dosa mencakup semua perbuatan yang buruk
dan jelek; baik kecil maupun besar. Oleh sebab itu Rasulullah saw. memasangkan
di antara keduanya sebagai dua hal yang berlawanan.
Al-birr mengandung makna begitu luas.
Rasulullah saw. menekankan bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah husnul
khuluq atau akhlak yang baik. Dan akhlak yang baik memiliki urgensitas yang
sangat penting dalam pribadi seorang mu′min.06)
Secara fitrah, manusia akan merasa
terusik jiwanya, kehilangan ketentramannya, tertekan, dan gelisah manakala
melakukan perbuatan dosa. Sehingga perbuatan dosa akan selalu memberikan dampak
negatif dalam jiwa seseorang. Kegundahan, gelisah, tidak tenang dan hal-hal
negatif lainnya yang bersifat psikis.
Hadits :
2
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّدْقَ بِرٌّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ فُجُورٌ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ
حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud ra. Berkata,
Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya shidq (kejujuran) itu membawa kepada
kebaikan, Dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak
jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah swt sebagai orang yang jujur. Dan
sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke
neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah swt
sebagai pendusta”.
(Muttafaqun ‘Alaih).
Hadits kedua di atas mengisaratkan
bahwa kejujuran akan membawa pada
kebaikan, sedangkan dusta akan mengantarkan pada kehancuran. Menjadi orang
jujur atau pendusta memang merupakan pilihan bagi setiap orang, tetapi
masing-masing pilihan itu tentu ada konsekuensinya. Bagi orang yang memilih jalan
hidupnya dengan penuh kejujuran (akhlak terpuji), maka ia akan mendapatkan
citra yang baik di mata orang-orang yang
mengenalnya dan akan menuai pahala dari sisi Allah. Sebaliknya, bagi mereka
yang selalu berbuat dusta (akhlak tercela) dalam hidupnya, maka ia tidak akan mendapatkan
citra yang baik dari orang-orang di sekitarnya bahkan lebih dari itu Allahpun
telah menyiapkan api neraka untuknya.
Hadits :
3
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله
واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
(رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa
Rasulullah saw bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari
akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia
berkata yang baik atau diam”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari
hadits ke tiga ada pelajaran buat kita bahwa :
a.
Memuliakan
tetangga termasuk katagori syariat islam yang hukumnya wajib. Pendapat ini
disandarkan pada sabda Rasullah saw, “Jibril ‘alaihisalam terus memberiku
wasiat untuk (berbuat baik) kepada tetangga seolah-olah aku mengira kalau dia
akan mewariskannya (kepadaku)”.(terjemah sarah shahih Muslim halaman.07)
b.
Memuliakan tamu
termasuk akhlakul karimah. Sehingga
terdapat sabagian ulama yang mengatakan bahwa mamuliakan tamu hukumnya wajib.
Karena substansi hadits adalah memberi pertolongan kepada sesama.08)
c.
”hendaklah ia berkata yang baik atau diam” Kalimat
ini memberi pesan kepada kita bahwa hendaknya seseorang baru memutuskan untuk
berbicara ketika perkataan yang akan diucapkan itu benar-benar mengandung
kebaikan dan bisa mendatangkan pahala, baik yang bersifat wajib atau sunah.
Namun apabilaa perkataan yang akan diucapkan itu tidak mengandung kebaikan dan
tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaknya dia lebih memilih untuk menahan
perkataannya tersebut”. Al Imam Asy-Syafi’i berkata “Jika seseorang hendak
berbicara, maka hendaklah dipikirkan terlebih dahulu. Jika dipertimbangkan
perkataannya tidak menyebabkan kemadharatan, maka boleh dia ucapkan. Akan
tetapi jika mengakibatkan adharat atau ragu-ragu, maka lebih baik dia menahan
ucapannya.
Hadits :
4
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله
عليه و سلم قال: إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا
تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: ”jauhilah oleh kalian berprasangka, karena
Sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari
kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri
hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (H.R.
Bukhari)
Hadits :
5
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم والجلوس في الطرقات. فقالوا: ما لنا بد إنما
هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: فإذا أبيتم إلا المجالس فأعطوا الطريق حقها. قالوا:
وما حق الطريق؟ قال: غض البصر وكف الأذى ورد السلام وأمر بالمعروف ونهي عن المنكر
(رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
Dari abu sa’id al-khudry ra dari
nabi saw. Beliau bersabda: “jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” para sahabat
terbanya: “wahai rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat itu,
karena di tempat itulah kami membicarakan sesuatu” rasulullah saw bersabda:
“apabila kalian tidak bisa meninggalkan dududk-duduk di sana, maka penuhilah
hak jalan itu” para sahabat bertanya: “apakah hak jalan itu, wahai rasulullah?”
beliau menjawab: “memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, amar
ma’ruf dan nahi munkar”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kandungan
hadits di atas adalah larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu
adalah majelis setan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan. Sebagaimana dalam hadits lain
Rasulullah saw yang artinya :
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu
adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka”.
Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang kita duduk-duduk di tepi
jalanan atau semisalnya. Tetapi dari hadits di atas kita dapati pula bahwa
selain Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan, Beliau membolehkannya
dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat
pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan
bagi mereka yang tetap ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan
syarat-syarat tadi.
Rasullullah saw berpesan, bahwa jika
memang duduk di jalan itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka wajib
memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan
dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu: pertama, menundukkan
(membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang
melewatinya atau hal-hal yang diharamkan). kedua, tidak mengganggu
(menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan. ketiga, menjawab
salam. keempat, memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah
(mereka) dari perbuatan mungkar.
Hadits :
6
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ
إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ
اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bertanya: “tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu?” para
sahabat berkata: “Allah swt dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Beliau bersabda:
“yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya”.
Ada seorang sahabat bertanya: “bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi pada saudara saya itu?” beliau menjawab: “apabila kamu
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu, maka berarti kamu
telah menggunjingnya, dan apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya tidak
terjadi pada saudaramu, maka kamu bener-benar membohongkannya”. (H.R. Muslim)
Dari hadits di atas Nabi saw
menjelaskan makna ghibah, yaitu dengan menyebut-nyebut orang lain dengan
sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap
kalimat yang kita ucapkan sementara ada orang lain yang membencinya, jika ia
tahu kita mengatakan demikian maka itulah ghibah. Dan jika sesuatu yang
kita sebutkan itu ternyata tidak ada pada dirinya, berarti kita telah melakukan
dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Imam Nawawi ra mengatakan, “Ghibah
berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang
tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya,
anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau
kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan
maupun isyarat”
Tidak semua jenis ghibah dilarang
dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan yaitu yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali
dengan ghibah. Ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:
- Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman yang dilakukan orang lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
- Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
- Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa) dengan mengatakan: ”Si Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya, Hal ini
diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan
tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah
berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada
istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun
demkian menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits
Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya
Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan beberapa hadits di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Akhlak merupakan cerminan dari
keimanan seseorang kepada Allah swt.
2. Akhlak yang baik merupakan bukti
ketinggian keimanan seseorang. Semakin tinggi imannya maka akan semakin
sempurna akhlaknya.
3. Akhlak yang baik mencakup segala macam bentuk kebaikan
diantaranya adalah, jujur, amanah,
menyambung persaudaraan, , tidak mudah marah, pemaaf, menjaga lisan, qanaah,
tawadhu’, menepati janji, ridha, sabar, syukur, dan lain sebagainya.
4. Akhlak yang tercela yakni segala
tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran,
misalnya israaf (melakukan sesuatu di luar batas ukuran), tabdzir (pemborosan), fitnah, serakah, dendam, takabur, dan lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan_
1995, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
-
Imam An-Nawai _
1994,
Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, Kairo: Darrul Hadits
-
Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Asqalani _
1997,
Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Riyadh: Maktabah Darussalam.
-
Al-Ghazali _
Ihya' Ulumuddin , Maktabah Ays
Syamilah
-
Ahmad Amin _
Kitab
Al-Akhlak, Kairo: Dar al-kutub al-misriyah
makasih atas bantuan anda
ReplyDelete