Headlines News :
Home » , » TINGKAH LAKU TERPUJI DAN TERCELA

TINGKAH LAKU TERPUJI DAN TERCELA

Written By Unknown on Saturday, December 22, 2012 | Saturday, December 22, 2012

BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang memerintahkan amal kebaikan, mengajarkan keadilan, dan Islam adalah agama yang menebarkan kedamain. Sebaliknya, Islam melarang kazaliman, kesewenang-wenangan, dan Islam agama yang melarang adanya segala macam permusuhan. Oleh sebab itu sebagi umat yang meyakini kebenaran Islam, berupaya  melaksanakan kewajiban yang diperintahkan dan menjahui hal-hal yang dilarang oleh Islam adalah suatu keniscayaan.
Tabiat dan sikap prilaku (akhlak) yang mendorong pada perbuatan yang diperintahkan atau yang dilarang oleh Islam adalah kenyataan yang senantiasa ada. Oleh sebab itu sebagai umat yang telah bersyahdah bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam dan Muhammad SAW adalah utusanNya, mengetahui dan memahami tentang akhlak (terpuji dan tercela) adalah suatu kewajiban, sebagai perwujudan awal melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya sekaligus sebagai bukti kepatuhan terhadap Rasul Allah yang memang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan di muka bumi ini.
Dengan latar belakang masalah akhlak terpuji dan akhlak tercela penulisan makalah ini bertujuan :
a.       Dapat memahami pengertian akhlak (terpuji dan tercela)
b.      Mampu menjelaskan hadits tentang akhlak (terpuji dan tercela)














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Secara etimologi kata akhlak dalam kamus besar bahasa Indonesia diarikan sebagai; tabiat, kelakuan.01) Kata akhlak dalam Bahasa Arab dri akar kata khulukun bisa diarikan tabiat, perangai, kebiasaan.02)
Secara terminology, terdapat bebrapa pengertian akhlak :
1.    Menurut Imam Ghozali, akhlak adalah “suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dahulu”03)
2.    Menurut Ahmad Amin, akhlak adalah “kebiasaan berkehendak. Artinya bahwa kehendak bila dibiasakan maka kebiasaan itu menjadi akhlak”.04)
Dari pengertian-pengertian Akhlak tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa akhlak adalah sikap atau prilaku yang meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang mudah dan ringan untuk mengerjakannya tanpa keterpaksaan dan pemikiran. Dari situ akan melahirkan satu prilaku atau perbuatan terpuji yang disebut akhlak terpuji atau sebaliknya yaitu perbuatan buruk yang disebut akhlak tercela.

B.     Tinjauan Hadits tentang akhlak terpuji dan akhlak tercela
Hadits : 1
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari An Nawwas ra. Ia berkata: “saya menanyakan tentang kebajikan dan dosa (kejahatan) kepada Rasulullah saw. Kemudian Beliau menjawab: “kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang merisaukan hatimu dan kamu tidak senang bila hal itu diketahui orang lain.” (H.R. Muslim)
Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengemukakan bahwa hadits ini termasuk hadits yang singkat dan padat, bahkan merupakan hadits yang paling padat, karena kebaikan itu mencakup semua perbuatan yang baik dan sifat yang ma′ruf. Sedangkan dosa mencakup semua perbuatan yang buruk dan jelek; baik kecil maupun besar. Oleh sebab itu Rasulullah saw. memasangkan di antara keduanya sebagai dua hal yang berlawanan.
Al-birr mengandung makna begitu luas. Rasulullah saw. menekankan bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah husnul khuluq atau akhlak yang baik. Dan akhlak yang baik memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi seorang mu′min.06)
Secara fitrah, manusia akan merasa terusik jiwanya, kehilangan ketentramannya, tertekan, dan gelisah manakala melakukan perbuatan dosa. Sehingga perbuatan dosa akan selalu memberikan dampak negatif dalam jiwa seseorang. Kegundahan, gelisah, tidak tenang dan hal-hal negatif lainnya yang bersifat psikis.

Hadits : 2
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّدْقَ بِرٌّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ فُجُورٌ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ibnu Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya shidq (kejujuran) itu membawa kepada kebaikan, Dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi  Allah swt sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah swt sebagai pendusta”. (Muttafaqun ‘Alaih).
 Hadits kedua di atas mengisaratkan bahwa kejujuran akan membawa pada kebaikan, sedangkan dusta akan mengantarkan pada kehancuran. Menjadi orang jujur atau pendusta memang merupakan pilihan bagi setiap orang, tetapi masing-masing pilihan itu tentu ada konsekuensinya. Bagi orang yang memilih jalan hidupnya dengan penuh kejujuran (akhlak terpuji), maka ia akan mendapatkan citra yang baik  di mata orang-orang yang mengenalnya dan akan menuai pahala dari sisi Allah. Sebaliknya, bagi mereka yang selalu berbuat dusta (akhlak tercela) dalam hidupnya, maka ia tidak akan mendapatkan citra yang baik dari orang-orang di sekitarnya bahkan lebih dari itu Allahpun telah menyiapkan api neraka untuknya.

Hadits : 3
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits ke tiga ada pelajaran buat kita bahwa :
a.       Memuliakan tetangga termasuk katagori syariat islam yang hukumnya wajib. Pendapat ini disandarkan pada sabda Rasullah saw, “Jibril ‘alaihisalam terus memberiku wasiat untuk (berbuat baik) kepada tetangga seolah-olah aku mengira kalau dia akan mewariskannya (kepadaku)”.(terjemah sarah shahih Muslim halaman.07)
b.      Memuliakan tamu termasuk akhlakul karimah. Sehingga terdapat sabagian ulama yang mengatakan bahwa mamuliakan tamu hukumnya wajib. Karena substansi hadits adalah memberi pertolongan kepada sesama.08)
c.       ”hendaklah ia berkata yang baik atau diam” Kalimat ini memberi pesan kepada kita bahwa hendaknya seseorang baru memutuskan untuk berbicara ketika perkataan yang akan diucapkan itu benar-benar mengandung kebaikan dan bisa mendatangkan pahala, baik yang bersifat wajib atau sunah. Namun apabilaa perkataan yang akan diucapkan itu tidak mengandung kebaikan dan tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaknya dia lebih memilih untuk menahan perkataannya tersebut”. Al Imam Asy-Syafi’i berkata “Jika seseorang hendak berbicara, maka hendaklah dipikirkan terlebih dahulu. Jika dipertimbangkan perkataannya tidak menyebabkan kemadharatan, maka boleh dia ucapkan. Akan tetapi jika mengakibatkan adharat atau ragu-ragu, maka lebih baik dia menahan ucapannya.

Hadits : 4
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: ”jauhilah oleh kalian berprasangka, karena Sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (H.R. Bukhari)

Hadits : 5
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم والجلوس في الطرقات. فقالوا: ما لنا بد إنما هي مجالسنا نتحدث فيها. قال: فإذا أبيتم إلا المجالس فأعطوا الطريق حقها. قالوا: وما حق الطريق؟ قال: غض البصر وكف الأذى ورد السلام وأمر بالمعروف ونهي عن المنكر (رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
Dari abu sa’id al-khudry ra dari nabi saw. Beliau bersabda: “jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” para sahabat terbanya: “wahai rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat itu, karena di tempat itulah kami membicarakan sesuatu” rasulullah saw bersabda: “apabila kalian tidak bisa meninggalkan dududk-duduk di sana, maka penuhilah hak jalan itu” para sahabat bertanya: “apakah hak jalan itu, wahai rasulullah?” beliau menjawab: “memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kandungan hadits di atas adalah larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis setan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan. Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah saw yang artinya :
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka”.
 Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang kita duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya. Tetapi dari hadits di atas kita dapati pula bahwa selain Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan, Beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetap ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi.
Rasullullah saw berpesan, bahwa jika memang duduk di jalan itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu: pertama, menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan). kedua, tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan. ketiga, menjawab salam. keempat, memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar.

Hadits : 6
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bertanya: “tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu?” para sahabat berkata: “Allah swt dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Beliau bersabda: “yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya”. Ada seorang sahabat bertanya: “bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudara saya itu?” beliau menjawab: “apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu, maka berarti kamu telah menggunjingnya, dan apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu bener-benar membohongkannya”. (H.R. Muslim)
Dari hadits di atas Nabi saw menjelaskan makna ghibah, yaitu dengan menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang kita ucapkan sementara ada orang lain yang membencinya, jika ia tahu kita mengatakan demikian maka itulah ghibah. Dan jika sesuatu yang kita sebutkan itu ternyata tidak ada pada dirinya, berarti kita telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Imam Nawawi ra mengatakan, “Ghibah berarti seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya, pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat”
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:
  1. Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman yang dilakukan orang lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat demikian kepadaku.”
  1. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
  2. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa) dengan mengatakan: ”Si Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya, Hal ini diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun demkian menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan beberapa hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.      Akhlak merupakan cerminan dari keimanan seseorang kepada Allah swt.
2.      Akhlak yang baik merupakan bukti ketinggian keimanan seseorang. Semakin tinggi imannya maka akan semakin sempurna akhlaknya.
3.      Akhlak yang baik  mencakup segala macam bentuk kebaikan diantaranya adalah, jujur, amanah, menyambung persaudaraan, , tidak mudah marah, pemaaf, menjaga lisan, qanaah, tawadhu’, menepati janji, ridha, sabar, syukur, dan lain sebagainya.
4.      Akhlak yang tercela yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran, misalnya israaf (melakukan sesuatu di luar batas ukuran), tabdzir (pemborosan), fitnah, serakah, dendam, takabur, dan lain sebagainya.




















DAFTAR PUSTAKA


-          Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan_
1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
-          Imam An-Nawai ­_
1994, Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, Kairo: Darrul Hadits
-          Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Asqalani _
1997, Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Riyadh: Maktabah Darussalam.
-           Al-Ghazali _
Ihya' Ulumuddin , Maktabah Ays Syamilah
-          Ahmad Amin _
Kitab Al-Akhlak, Kairo: Dar al-kutub al-misriyah
Share this article :

1 comment:

Situs-situs Terkait

Music

 
Support : Muhammad Arwani Proudly powered by Blogger
Copyright ; 2012. Agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta - All Rights Reserved
Copright SMK Manba'ul Huda Published by Blogger