PENDAHULUAN
Manusia mempunyai berbagai macam
kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Menurut Ilmu ekonomi, kebutuhan dibedakan menurut kepentingannya (kebutuhan
primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier), menurut waktunya (kebutuhan
sekarang dan kebutuhan akan datang), menurut sifatnya (kebutuhan jasmani dan
kebutuhan rohani), dan menurut subyeknya (kebutuhan perorangan dan kebutuhan
bersama).
Mencari
rizki merupakan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam mencari rizki,
manusia telah dibekali akal, panca indera, keahlian dan kemudahan oleh Allah
SWT. Selama yang dilakukan halal, manusia diberi keleluasaan untuk mencari
rizki dengan berbagai cara dan jalan yang dapat dilakukan sesuai dengan
kemampuannya.
Beragam
upaya manusia dalam mencari rizki. Sebagian berusaha dengan sangat keras hingga
melupakan waktu, bahkan sampai melupakan kewajibannya yang hakiki sebagai
manusia. Di sisi lain ada yang sangat malas berusaha sehingga hanya meminta-minta
belas kasih orang lain.
Dalam
nakalah ini penulis berusaha membahas :
-
pengertian rizki yang halal
-
upaya dan fadhilah mencari rizki yang halal
-
menjaga diri dari meminta-minta.
B. HADITS MENGENAI DORONGAN MENCARI RIZKI YANG
HALAL
1. Hadits
Abdullah bin Umar r.a. tentang orang yang member lebih baik daripada orang yang
meminta-minta :
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ
قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ
وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (رواه
البخاري)[1]
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’man, ia berkata telah menceritakan kepada kami Khammad
bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a, dia berkata: Saya telah
mendengar Nabi Saw. bersabda saat berdiri di atas mimbar menerangkan tentang shadaqah,
memelihara diri dari meminta - minta dan tentang hal meminta-minta, Beliau
bersabda “tangan atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas adalah
yang bershadaqah, dan tangan di bawah adalah yang meminta-minta”.
2 Hadits Abu Hurairah r.a. tentang menjual
kayu bakar lebih baik daripada meminta-minta
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ
لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ (رواه البخاري)[2]
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir, telah
menceritakan kepada kami Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula
Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia
berkata : Rasulullah bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas
punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis
kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”.
3. Hadits Miqdam
bin Ma’dikariba tentang Nabi Daud AS. makan dari usahanya sendiri
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ
عَنْ ثَوْرٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
(رواه البخاري)[3]
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus, dari Tsaurin, dari Khalid bin Ma’dan, dari al-Miqdam r.a.,dari: Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “tidak ada
makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari
hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud AS, makan dari hasil keringatnya
sendiri”.
4. Hadits Abu
Hurairah tentang Nabi Zakaria AS. seorang tukang kayu
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا (رواه المسلم)[4]
Telah
menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Khammad bin Salamah, dari Tsabit,
dari Abi Raafi’, dari Abu Hurairah r.a.
Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda
: “Bahwa Nabi Zakariya AS, adalah
seorang tukang kayu”
C. PEMBAHASAN
1. Mencari Rizki yang Halal
Kata rizki berarti
segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, semua pemberian yang dikaruniakan
Allah kepada makhluknya. Sedangkan halal diartikan sesuatu yang boleh
dilakukan atau dikerjakan, sesuatu yang terlepas dari pengaruh bahaya duniawi
dan ukhrawi. Jadi rizqi yang halal dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya, diperbolehkan oleh syari’at Islam sehingga terlepas dari pengaruh
bahaya duniawi dan ukhrawi[5].
Kriteria rizki yang halal dilihat dari zatnya dan cara memperolehnya.
Manusia dianjurkan untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya dari hasil keringatnya sendiri. Rasulullah memerintah ummatnya
bekerja sesuai dengan kemampuannya. Pekerjaan apapun dapat dilakukan asalkan
halal, bahkan pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang, lebih baik
daripada mengharapkan belas kasihan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam
Surat al-Isra’
ayat 84 :
ö@è%
@@à2
ã@yJ÷èt
4n?tã
¾ÏmÏFn=Ï.$x©
öNä3/tsù
ãNn=÷ær&
ô`yJÎ/
uqèd
3y÷dr&
WxÎ6y
ÇÑÍÈ
Artinya
: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalan-Nya.
Para
Nabi dan Rasulullah, yang merupakan manusia pilihanpun bekerja mencari nafkah. Nabi Daud AS. bekerja
dengan cara membuat
pakaian perang dari besi dan
diperjual belikan kepada kaumnya. Nabi Zakaria
AS. bekerja sebagai tukang kayu dan Nabi Muhammad SAW. adalah seorang pedagang.
Dalam
Islam terdapat banyak sekali ibadah yang tidak mungkin dilakukan tanpa biaya
dan harta. Diantara sepeti zakat, infak, shadaqah, wakaf, haji dan umrah.
Sedangkan biaya dan harta untuk ibadah tersebut tidak mungkin diperoleh tanpa
bekerja. Maka bekerja untuk untuk memperoleh harta dalam rangka ibadah kepada
Allah menjadi wajib hukumnya. Sebagaimana kaidah fiqhiyah :
Suatu kewajiban yang tidak dapat
dilakukan melainkan dengan pelaksanaan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya
wajib.
Adapun fadhilah ikhlas
bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya
antara lain sebagai berikut [7]:
a.
Akan mendapat ampunan dosa
dari Allah SWT, sebagaimana diceritakan
dalam salah hadits :
“ Barang siapa yang sore hari duduk
kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sorehari
tersebut dosanya diampuni Allah SWT”. (HR. Thabrani)
b.
Mendapat cinta Allah SWT, seperti diceritakan dalam hadits :
“ Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min yang giat bekerja”.
(HR.Thabrani)
c.
Terhindar dari adzab neraka, sebagaimana diceritakan :
“ Pada suatu hari Sa’ad bin Muadz
Al-Anshari menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari perang
Tabuk, Beliau melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya yang kehitaman karena
diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya: Kenapa tanganmu? Sa’ad menjawab
: Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga
yang menjadi tanggunganku. Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya
berkata : Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”. (HR.
Thabrani)
2.
Menahan Diri dari Meminta-minta
Setiap
dari kita telah dijamin rizkinya oleh Allah SWT tinggal usaha dari kita untuk
mendapatkannya. Karena rizki tidak turun begitu saja dari langit, akan tetapi
dibutuhkan usaha, kesungguhan serta tawakkal yang sempurna. Seekor burung tidak
tinggal diam di dalam sarangnya menunggu rizki yang datang kepadanya. Akan
tetapi, dia berusaha dengan terbang kesana kemari untuk mendapatkan makanannya.
Di
antara sifat buruk yang dijauhi oleh syara’ adalah meminta-minta kepada
manusia, yang dimaksud meminta-minta adalah inisiatif seseorang untuk
meminta-minta kepada orang lain harta dan segala kebutuhannya pada mereka tanpa
ada kebutuhan dan tuntutan yang mendesak, sebab meminta-minta mengandung
kehinaan kepada selain Allah Azza Wa Jalla.
Pada
dasarnya meminta-minta itu adalah haram, namun dibolehkan karena adanya
tuntutan atau kebutuhan yang mendesak yang mengarah kepada tuntutan, sebab
meminta-minta berarti mengeluh terhadap Allah, dan di dalamnya terkandung makna
remehnya nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamba-Nya dan itulah keluhan
yang sebenarnya. Pada meminta-minta terkandung makna bahwa peminta-minta
menghinakan dirinya kepada selain Allah Ta’ala dan biasanya dia tidak akan
terlepas dari hinaan orang yang dipinta-pinta, dan terkadang dia diberikan oleh
orang lain karena faktor malu atau riya, dan ini adalah haram bagi orang yang
mengambilnya.
Meminta-minta
itu hanya diperbolehkan bagi :
a. Orang
yang sedang menanggung beban yang sangat
berat (denda, hutang dan sebagainya) hingga ia terlepas dari tanggungan
tersebut.
b. Orang
yang tertimpa kecelekaan atau musibah yang menghabiskan hartanya, sehingga ia
bisa memperoleh kehidupan yang layak.
c. Orang
yang sangat miskin,sehingga disaksikan oleh tiga orang cerdik pandai dari
kaumnya bahwa ia benar-benar miskin, hingga ia bisa memperoleh kehidupan yang
layak.
D. PENUTUP
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan :
a.
Rizqi yang halal adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, diperbolehkan oleh syari’at
Islam sehingga terlepas dari pengaruh bahaya duniawi dan ukhrawi.
b.
Manusia dianjurkan untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya dari hasil keringatnya sendiri.
c.
Fadhilah mencari rizki
yang halal antara lain : mendapat ampunan dan dicintai Allah Ta’ala serta
terhindar adzab api neraka.
d.
Pada dasarnya
meminta-minta itu dilarang, namun dibolehkan bagi orang yang menanggung beban
yang sangat berat, orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan seluruh harta
bendanya dan orang yang sangat miskin hingga orang-orang tersebut dapat
memperoleh kehidupan yang layak.
Demikian
makalah kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua
pembaca makalah kami pada umumnya. Tentunya kami mengharap kritik dan saran
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini dan menjadi tambahan pemahaman bagi
kami di masa mendatang.
Puji
syukur kepada Allah Ta’ala yang berkenan melimpahkan rahmat kepada kami
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih tak lupa kami
sampaikan kepada :
-
Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, M.A. yang telah dengan sabar
membimbing kami.
-
Teman-teman mahasiswa yang dengan ikhlas membantu kami.
-
Semua pihak yang tak dapat kami sebutkan satu persatu yang
telah membantu sehingga terselesaikan makalah ini.
Daftar Pustaka
al-Bukhari, Abi
Abdillah Muhammad ibn Ismail, Shahih al-Bukhari, Damsyik: Dar ibn
Katsir,2002.
an Naisaburi, Abi Husain Muslim ibn al-Hajjaj
al-Qusyairi, Shahih Muslim, Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-Ilmiyah,
1971.
Abu Muhammad FH dan
Zainudin Siroj, Kamus Istilah Agama Islam, Tangerang: PT. Albama, tt.
Abdul Salam, Abdul
Wahab Thawilah, Atsarul Lughah Fi Ikhtilafil Mujtahidin,tt.p : Darus
Salam, 1414.
[1] Abi
Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Damsyik: Dar
ibn Katsir,2002)hlm.347.
[2] Ibid.
, hlm.499.
[3] Ibid.
[4]
Abi Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1971)hlm.376.
[5]
Abu Muhammad FH, Zainudin Siroj, Kamus Istilah Agama Islam (Tangerang:
PT. Albama, tt), hlm.116.
[6]
Abdul Wahab Abdul Salam Thawilah, Atsarul Lughah Fi Ikhtilafil Mujtahidin
(tt.p : Darus Salam, 1414), hlm.426.
[7]
Rikza Maulan, “Akhlak dan Etika bekerja”, http//www.slideshare.net/ErmaEmma1/akhlak-14654105, hlm.5.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !