MAKALAH
NIAT
DAN ISTIQOMAH
Disusun guna memenuhi tugas semester 3
Mata Kuliah : Hadits
Dosen Pengampu : Prof.
Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag.
Disusun Oleh :
1.
Wahyudi 113511098
2.
Heri Sucipto 113511120
3.
Sutinah 113511109
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Niat
adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan
niat hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan
seberapa penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga
mengan dung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan. Jadi pada intinya setiap niat yang baik
pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan sebaliknya, setiap niat yang
buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.
Istiqomah adalah pembahasan yang sangat penting dan
memiliki kedudukan yang besar. Oleh karena itu setiap dari diri kita harus
selalu memperhatikannya dan memberikan porsi yang besar dan kesungguhan serta
penjagaan. Sifat istiqomah
akan menjadikan seorang muslim meraih kebahagian baik ketika di dunia maupun di
akhirat. Dengannya pula seorang hamba akan meraih kemenangan dalam bergulat dengan fitnah yang banyak sekali,
bahkan istiqomah mengakibatkan kesudahan yang baik dari segala urusanya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian niat,
2.
Contoh hadits tentang niat, terjemahan serta analisisnya,
3.
Pengertian istiqomah,
4.
Contoh hadits tentang istiqomah serta analisisnya.
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian niat,
2.
Untuk mengetahui contoh hadits tentang niat, terjemahan
serta analisisnya,
3.
Untuk mengetahui pengertian istiqomah,
4.
Untuk mengetahui contoh hadits tentang istiqomah, terjemahan
serta analisisnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Niat
Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk
melakukan sesuatu. Dalam terminologi
syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan kepada Allah dengan
melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah didalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak
dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam didalam hatinya.
Aspek niat itu ada 3 hal :
1)
Diyakini
dalam hati.
2)
Diucapkan
dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau
bahkan menjadi riya).
3)
Dilakukan
dengan amal perbuatan.
Dengan
definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'bicara saja' karena dengan berniat berati bersatu padunya antara
hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu’
dan tawadhu’,
ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan
tidak tergesa-gesa serta cermat. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain
dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
B.
Contoh Hadits Tentang Niat
Contoh hadits
tentang niat yaitu:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ،
وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Dari Umar
bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat,
dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka
barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia
perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada
apa yang berhijrah kepadanya.”
Sesungguhnya suatu amal akan diterimanya di sisi Allah jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah akan melihat
hati manusia, apakah ikhlas, dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan
tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya
Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu
dan amal kamu. (HR. Muslim, no. 2564[1]
Dari sekilas penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa niat sangat menentukan
baik dan buruknya sebuah amalan (perbuatan) dan menentukan sah atau tidaknya
sebuah amal ibadah. Niat pun menentukan berpahala dan berdosanya pelaku amalan
tersebut, sebagaimana pula menentukan besar dan kecilnya pahala atau dosa yang
ia peroleh dari amalannya tersebut.
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Ketahuilah,
niat secara bahasa bermakna maksud dan keinginan”.
Adapun fungsi niat, maka beliau kembali menjelaskan, “Niat, dalam perkataan
ulama memiliki dua maksud (fungsi); pertama, untuk membedakan
antara satu ibadah dengan yang lainnya. Seperti membedakan antara shalat zhuhur
dan ‘ashar, dan membedakan puasa Ramadhan dengan puasa-puasa lainnya.
Juga untuk membedakan antara ibadah dan adat istiadat (kebiasaan). Seperti
membedakan antara mandi janabat dan mandi untuk membersihkan dan menyegarkan
badan semata. Dan contoh-contoh lain yang semisalnya. Niat semacam inilah yang
banyak yang dibicarakan oleh para ahli fiqih dalam kitab-kitab mereka.
Kedua, untuk membedakan maksud atau tujuan dalam beramal.
Apakah maksud dan tujuannya Allah semata, ataukah yang lainnya? Ataukah Allah
dan juga selain-Nya. Niat semacam inilah yang banyak dibicarakan oleh para
ulama aqidah tatkala mereka membicarakan masalah ikhlas dan
cabang-cabangnya. Dan ini pula yang banyak didapatkan pada pembahasan dan
pembicaraan ulama salaf terdahulu”.
C. Niat Dibedakan
menjadi 2, yaitu:
1.
Niat Dalam
Kebaikan
Termasuk rahmat dan anugerah Allah
adalah bahwa Dia telah menulis kebaikan hamba hanya karena keinginan berbuat kebaikan. Sedangkan keinginan berbuat
keburukan belum ditulis. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal ini
di dalam hadits sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ
بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ
لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى
أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا
كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Allah menulis semua
kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia
tidak melakukannya, Allah menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna
untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah
menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat
banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak
melakukannya, Allah menulis di sisiNya pahala satu kebaikan sempurna untuknya.
Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah menulis
satu keburukan saja. [HR. Bukhori, no. 6491; Muslim, no. 131]
2.
Niat Dalam Keburukan
Keinginan yang melintas di dalam
hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah. Namun jika
keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun
tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal
ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ
وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا
بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan
pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang
terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakroh) bertanya: ”Wahai Rosululloh, si
pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh.
Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhori, no. 31, 7083; Muslim,
no. 2888; dari Abu Bakroh][2]
Di
dalam hadits lain, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan
bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau bersabda:
أَيُّمَا
رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ
اللَّهَ سَارِقًا
Siapa saja berhutang dengan niat
tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai
pencuri. [HR. Ibnu
Majah, no. 2410; syaikh Al-Albani berkata: “Hasan Shohih”][3]
Kedudukan niat yang sangat penting
juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat,
seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam di dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الْأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ
نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ
وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ
صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا
يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ
حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ
فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyAllahu ‘anhu, bahwa dia
mendengar Rasululloh sholAllahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Sesungguhnya
dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah berikan rizqi kepadanya berupa
harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa
kepada Robbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada
kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah padanya. Maka hamba
ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah). Hamba yang Allah
berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa
harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki
harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan
kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya
(orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah berikan rizqi kepadanya
berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian
dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa
kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan
hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah padanya. Maka hamba ini
berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah). Hamba yang Allah
tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia
mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan
Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia
(dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.
(Hadits Shohih
Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228;
dan lainnya. Dishohihkan Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no:
3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus
Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal:
252-253)
Semua keterangan ini menunjukkan
pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang muslim yang baik selalu
membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah.
Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah
Nabi, karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik. Karena semata-mata
niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti
seseorang bershodaqoh dengan uang curian atau korupsi.
3. Pengertian Istiqomah
Istiqomah
adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa
berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata
istiqomah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi,
istiqomah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqomah
diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.[4]
Secara terminology, istiqomah bisa diartikan dengan beberapa pengertian berikut ini;
-
Abu Bakar As-Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqomah ia menjawab; bahwa
istiqomah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa
dan siapapun).
- Umar bin Khattab ra berkata: “Istiqomah adalah komitment
terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipuan
musang”.
- Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqomah adalah mengikhlaskan
amal kepada Allah swt”.
- Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqomah adalah melaksanakan
kewajiban-kewajiban”.
-
Al-Hasan berkata: “Istiqomah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksitan”.
-
Mujahid berkata: “Istiqomah adalah komotmen terhadap syahadat tauhid sampai
bertemu dengan Allah swt”.
-
Ibnu Taimiah berkata: “Mereka beristiqomah dalam mencintai dan beribadah
kepadaNya tanpa menengok kiri kanan”.
Muslim yang beristiqomah adalah muslim
yang selalu mempertahankan keimanan dan aqidahnya dalam situasi dan kondisi
apapun, baik di bulan Rmadhan maupun di bulan lainnya. Ia bak batu karang yang tegar
mengahadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah loyo
atau mengalami futur dan degradasi dalam perjalanan hidupnya. Ia senantiasa sabar dalam
memegang teguh tali keimanan. Dari hari ke hari semakin mempesona dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Islam. Ia senantiasa menebar pesona Islam
baik dalam ruang kepribadiannya, kehidupan keluarga, kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Itulah cahaya yang selalu menjadi pelita kehidupan. Itulah
manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqomah dalam sepanjang jalan
kehidupan.
Kesucian dan ketakwaan yang ada
dalam jiwa harus senantiasa dipertahankan oleh setiap muslim. Hal ini
disebabkan kesucian dan ketakwaan ini bisa mengalami pelarutan, atau bahkan
hilang sama sekali. Namun, ada beberapa tips yang membuat seorang muslim bisa
mempertahankan nilai ketakwaan dalam jiwanya, bahkan mampu meningkatkan
kualitasnya. Tips tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, Muraqabah adalah perasaan seorang hamba akan
kontrol ilahiah dan kedekatan dirinya kepada Allah. Hal ini diimplementasikan
dengan mentaati seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, serta
memiliki rasa malu dan takut, apabila menjalankan hidup tidak sesuai dengan
syariat-Nya.
Kedua, Mu’ahadah yang dimaksud di sini adalah
iltizamnya (pengakuan) seorang atas nilai-nilai kebenaran Islam. Hal ini dilakukan
karena ia telah berafiliasi (kerjasama /
komitmen) dengannya
dan berikrar di hadapan Allah SWT.
Ketiga, Muhasabah adalah usaha seorang hamba untuk
melakukan perhitungan dan evaluasi atas perbuatannya, baik sebelum maupun
sesudah melakukannya.
Keempat, Mu’aqabah adalah pemberian sanksi oleh
seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas keteledoran yang dilakukannya.
Kelima Mujahadah (Optimalisasi) adalah optimalisasi dalam beribadah
dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
Inilah
lima langkah yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang ingin mempertahankan
nilai keimanan, yang ingin bertahan dan istiqamah di puncak ketaqwaannya.
4. Contoh Hadits Tentang Istiqomah
Salah satu contoh
hadits tentang istiqomah yaitu:
عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ
سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا
رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً
غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ [رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Amr, ada juga yang mengatakan Abu ‘Amrah, Suufyan bin
Abdillah Ats Tsaqofi radhiallahuanhu dia berkata, saya berkata : Wahai
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, katakan kepada saya tentang Islam
sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu.
Beliau bersabda: Katakanlah: saya beriman kepada Allah, kemudian berpegang
teguhlah.(Riwayat Muslim).
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.
Iman kepada Allah ta’ala harus mendahului
ketaatan.
2. Amal shaleh dapat menjaga keimanan.
3. Iman dan
amal saleh keduanya harus dilaksanakan.
4. Istiqomah
merupakan derajat yang tinggi.
5. Keinginan
yang kuat dari para shahabat dalam menjaga agamanya dan merawat keimanannya.
6. Perintah
untuk istiqomah dalam tauhid dan ikhlas beribadah hanya kepada Allah semata
hingga mati.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
Kesimpulan
Simpulan yang dapat penyusun simpulkan
dari hasil pembahasan diatas adalah:
1) Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan
hati.
2) Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus
dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus
menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah
atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus
menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
3) Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau
kurangnya, taat atau maksiat.
4) Istiqomah merupakan
sikap teguh pendirian dan konsekuen.
5) Orang muslim harus selalu
istiqomah dalam sepanjang jalan kehidupan.
6) Amal shaleh dapat menjaga
agar tetap istiqomah.
B. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami
sajikan. Meskipun kami sudah berusaha keras dalam penyusunan makalah ini, namun
kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang sangat sederhana
ini benar-benar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan
khususnya bagi penulis. Amiiin...
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakr Jabir al-Jazairi. 2002. Minhaajul Muslim.
atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri.
Darul Falah.
Bukhari. Muslim. Hadits
Shahih.
Depdiknas. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai Pustaka.
Masyhur. Abu Ubaidah. bin Hasan bin Mahmud Salman. Al-Qaulul Mubin fi Akhth'ail Mushallin.
Muhammad, syaikh. bin Shalih Al-'Utsaimin. Syarh Riyadhus Shalihin.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !